GaronggangNews.Id | Laporan global organisasi "Save the Children" bertajuk "Born into the Climate Crisis" menyatakan krisis iklim di Indonesia membawa dampak nyata dan dirasakan oleh anak-anak saat ini.
"Studi kami sangat jelas menggambarkan bahwa anak-anak menanggung beban berat karena tumbuh dalam situasi yang mengancam dan anak memiliki beragam faktor yang membuat mereka lebih rentan secara fisik, sosial, dan ekonomi," kata Ketua Pengurus Yayasan Save the Children Indonesia Selina Patta Sumbung dalam keterangan tertulis yang diterima Sabtu (23/4).
Baca Juga:
Pesta Raya Flobamoratas, Ajang Festival Mendekatkan Isu Perubahan Iklim kepada Masyarakat Luas
Berdasarkan laporan global yang dirilis bulan September 2021 tersebut, dijelaskan bahwa anak-anak di Indonesia yang lahir tahun 2020 berisiko menghadapi 3 kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai.
Selanjutnya 2 kali lebih banyak mengalami kekeringan serta 3 kali lebih banyak gagal panen dan lebih buruk lagi, dampak krisis iklim membuat jutaan anak dan keluarga jatuh dalam kemiskinan jangka panjang di Indonesia.
Secara nasional, hasil prediksi iklim sepuluh tahunan laporan global "Save the Children" menunjukkan bahwa akan terjadi pengurangan jumlah curah hujan selama El Nino.
Baca Juga:
Hadapi Krisis Iklim Global di NTT, VCA Gelar Dialog Publik Bertajuk "Suara Bae Dari Timur"
Berdasarkan prediksi peluang terjadinya peristiwa cuaca kering ekstrem pada 2020-2025, beberapa wilayah diperkirakan akan mengalami cuaca ekstrem di atas normal.
Pada 2020, Laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait kejadian bencana menyebutkan terdapat sebanyak 4.650 total kejadian bencana alam dan 99,2 persen merupakan kejadian bencana yang berasosiasi dengan faktor iklim dan cuaca.
Selanjutnya di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), jumlah pengungsi akibat kekeringan bertambah secara signifikan dari 21.688 jiwa pada 2018 menjadi 6 kali lebih besar pada 2019 hingga mencapai 139.746 jiwa, termasuk anak-anak.
Sementara di Sulawesi Selatan, jumlah populasi terpapar gelombang tinggi dan abrasi diperkirakan mencapai 265.307 jiwa. Dari angka tersebut, 40.508 jiwa merupakan kelompok rentan termasuk anak-anak. Anak-anak yang berada di wilayah Kepulauan Selayar, Takalar, Pangkajene Kepulauan dan Makassar memiliki risiko tinggi abrasi.
Kemudian di Jawa Barat, catatan statistik tahun 2022 menyebutkan jumlah kejadian banjir mencapai 247 pada tahun 2021. Dari kejadian tersebut, korban meninggal dunia 20 orang, 282 mengalami luka dan 1.440.252 orang terdampak dan mengungsi termasuk anak-anak.
Jumlah kelurahan/desa terdampak banjir dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat bertambah secara signifikan sejak 2019 hingga 2021.
Laporan itu pun mengungkapkan jika kenaikan suhu dijaga tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius, dampak dari ancaman iklim pada generasi mendatang dapat berkurang.
Misalnya, kekeringan berkurang sebesar 39 persen, 38 persen untuk banjir sungai, 28 persen untuk gagal panen, dan sebesar 10 persen untuk kebakaran hutan.
"Investasi pada penurunan emisi seharusnya berjalan beriringan dan saling melengkapi dengan upaya penurunan risiko dan meningkatkan kapasitas adaptasi pada anak," tambah Selina.
Aksi Generasi Iklim sendiri, menurut Selina, merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi dan dipimpin oleh anak-anak dan orang muda dengan tujuan untuk memastikan anak-anak dan keluarga terutama mereka yang terdampak secara langsung dari krisis iklim dapat melakukan upaya-upaya bertahan hidup dan beradaptasi, serta memperkuat sistem terkait penanganan perubahan iklim yang lebih berpihak pada anak.
"Setelah mendapatkan penjelasan mengenai dampak krisis iklim, saya lebih sadar bahaya perubahan iklim yang kita rasakan hari ini. Sudah saatnya anak-anak ikut bergerak dan dilibatkan, karena kami yang akan merasakan dampak terburuk dari krisis iklim saat ini dan pada masa mendatang," kata Ranti selaku perwakilan "Child Campaigner" Jawa Barat "Save the Children" Indonesia.
Menurut Ranti, pemerintah harus melibatkan anak-anak dalam membangun kesadaran dampak krisis iklim dan menciptakan ruang yang aman dan nyaman untuk anak-anak berpendapat.
"Harusnya, semua anak bisa mulai berpartisipasi. Tapi sayangnya masih banyak anak-anak belum tahu tentang krisis iklim dan bagaimana mereka bisa berperan untuk membuat perubahan, sebagai 'Child Campaigner', saya ingin mengajak semua anak bergerak dan tidak takut untuk bersuara." ungkap Ranti.
Atas kondisi tersebut, Save the Children Indonesia pun menggandeng sejumlah pihak yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meluncurkan kampanye Aksi Generasi Iklim bertepatan pada Hari Bumi 22 April 2022.
Aksi Generasi Iklim diprakarsai oleh anak-anak Indonesia terutama mereka yang berhadapan dan terdampak langsung dari krisis iklim, anak-anak tersebut berasal dari Provinsi Jawa Barat, Sulawesi Tengah, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur.
"Inisiasi Aksi Generasi Iklim yang dilakukan oleh anak-anak dan orang muda berkontribusi pada program adaptasi perubahan iklim KLHK, hal ini juga sejalan dengan berbagai rekomendasi internasional tentang pentingnya melibatkan anak dan orang muda dalam upaya adaptasi," kata Direktur Adaptasi Perubahan Iklim KLHK Sri Tantri Arundhati. [As]