GaronggangNews.Id | Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati minta Pemerintah dan DPR memperkuat pengaturan tentang hak korban kekerasan seksual di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mulai dari layanan korban hingga kejelasan restitusi.
“Terdapat catatan jika restitusi hanya dilihat sebagai penghukuman kepada pelaku, yaitu berlaku ketentuan Pasal 67 KUHP yang melarang penjatuhan pidana lain apabila pelaku dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup,” kata Maidina dalam keterangan yang diterima di Jakarta dilansir Antara, Rabu (16/2).
Baca Juga:
Mangkir dari Panggilan, Yandi Supriyadi Resmi Jadi DPO Kasus Pencabulan Anak
Dampaknya, korban menjadi tidak dapat memperoleh haknya, yakni ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku apabila hakim menjatuhkan pidana mati maupun pidana seumur hidup.
Maka dari itu, penegasan posisi dari restitusi atau setidaknya harmonisasi posisi restitusi di dalam perundang-undangan pidana perlu untuk segera dilakukan.
Dia mencontohkan pada kasus vonis terhadap pelaku kekerasan seksual Herry Wirawan. “ICJR memberikan apresiasi pada usaha hakim dalam putusan ini, namun masih ada masalah yang lebih rumit,” ucapnya menanggapi vonis terhadap pelaku kekerasan seksual Herry Wirawan.
Baca Juga:
Kasus Pembunuhan dan Pemerkosaan di Palembang: 4 Pelaku di Bawah Umur
Dikarenakan Herry Wirawan, pelaku pemerkosa 13 santri dituntut dengan pidana mati oleh Penuntut Umum. Hakim memvonis terdakwa dengan hukuman seumur hidup.
Menjadi rumit ketika Majelis Hakim melakukan ‘improvisasi’ dengan membebankan restitusi dibayarkan oleh pihak ketiga yang ditentukan yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA). Hal ini tidak dikenal dalam skema pembayaran restitusi, yaitu pihak ketiga negara.
ICJR sepakat dengan ‘niat baik’ dari Majelis Hakim di dalam putusan HW dengan membebankan ganti kerugian untuk dibayarkan oleh negara, kata dia.