GaronggangNews.Id | Batak merupakan suku yang tinggal di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.
Suku ini tersebar hampir di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Baca Juga:
Arnod Sihite Dilantik Ketua Umum PTSBS Periode 2024-2029: Ini Daftar Lengkap Pengurusnya
Mengutip buku Suku-suku Bangsa di Sumatera karya Giyanto, nenek moyang Suku Batak merupakan kelompok Proto Melayu atau Melayu Tua.
Kelompok ini berasal dari Asia Selatan dan bermigrasi ke Nusantara melalui Pulau Sumatera.
Dari semenanjung Malaya, mereka menyeberang ke Pulau Sumatera dan akhirnya menetap di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.
Baca Juga:
Arnod Sihite Resmi Pimpin Parsadaan Toga Sihite Boru Sedunia, Fokus Lestarikan Budaya Batak pada Generasi Muda
Kelompok Proto Melayu kemudian membangun sebuah permukiman di Sianjur Mula-mula.
Pemukiman tersebut berkembang dan menyebar ke wilayah sekitarnya.
"Ada beberapa versi tentang nenek moyang suku bangsa Batak. Salah satu versi menyebutkan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah si Raja Batak," tulis Giyanto.
Menurut buku Tarombo Borbor Marsada yang dikutip Giyanto, Raja Batak memiliki tiga orang putra.
Ketiga anak itulah yang menjadi awal mula marga di suku Batak.
Sebelas Sub-Suku Batak
Menurut Giyanto, Suku Batak memiliki sebelas sub-suku yang tercatat.
Sub-suku tersebut meliputi Batak Karo, Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Dairi, Batak Nias, Batak Alas, Batak Gayo, dan Batak Kluet.
"Dari sub-suku bangsa tersebut, ada lima sub-suku bangsa yang menjadi sub-etnis utama Batak, yaitu Toba, Pakpak, Simalungun, Karo, dan Mandailing," terang Giyanto.
Sub-suku lainnya diketahui memisahkan diri dan membentuk identitas baru menjadi suku berbeda.
Misalnya, sub-suku Gayo yang menjadi Suku Gayo, dan sub-suku Nias yang menjadi Suku Nias.
Suku Batak menyebar hampir di seluruh Provinsi Sumatera Utara dan sebagian wilayah Aceh.
Sebagian besar dari mereka masih tinggal di sekitar Danau Toba.
Menurut Giyanto, Suku Batak hidup secara berkelompok dalam satu kampung yang disebut huta atau kuta dalam bahasa Karo.
Setiap huta biasanya didiami beberapa keluarga yang masih memiliki ikatan kekerabatan.
Bahasa Batak
Suku Batak menggunakan bahasa Batak untuk berkomunikasi sehari-hari.
Setiap sub-etnis memiliki logat atau dialek tersendiri dalam mengucapkan Bahasa Batak.
Mengutip Warisan Leluhur karya Uli Kozok, ahli bahasa membedakan Bahasa Batak ke dalam dua cabang.
Perbedaan dari kedua cabang tersebut terlalu besar, sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok bahasa tersebut.
Batak Angkola, Mandailingi, dan Toba membentuk rumpun selatan.
Sedangkan Batak Karo dan Pakpak-Dairi termasuk ke dalam rumpun utara.
Batak Simalungun sering digolongkan ke dalam rumpun ketiga yang berada di antara utara dan selatan.
Namun, menurut ahli bahasa, Adelaar, dialek Simalungun sebenarnya berasal dari rumpun selatan.
"Semua bahasa Batak berasal dari satu bahasa purba (proto language) yang sebagian kosa katanya dapat direkonstruksi," tulis Kozok dalam buku tersebut.
Agama Suku Batak
Ada satu nama penting yang berhubungan dengan keyakinan masyarakat Batak, yaitu Debata Mula Jadi Na Bolon.
Sosok ini dipercaya sebagai pencipta alam semesta dan tinggal di atas langit.
Menurut Nelita Br Situmorang, dalam jurnalnya yang berjudul Eksistensi Agama Lokal Parmalim, agama yang dianut Suku Batak awalnya disebut Parmalim atau Ugamo Malim.
"Pemeluk Agama Pamalim bersikeras dengan keyakinan yang kukuh bahwa Malim adalah sebuah agama yang mereka yakini sebagai kepercayaan yang turun temurun dari keturunan pertama darah batak," tulis Situmorang.
Dalam keyakinan tersebut, Mulajadi Na Bolon dipercaya sebagai Tuhan Yang Maha Besar tempat semua makhluk berasal.
Penganut Ugamo Malim beribadah di Bale Parsaktian atau disebut juga Bale Pasogit.
Menurut masyarakat Batak, agama ini pertama kali berdiri pada 497 Masehi (M) atau 1450 tahun Batak.
Mereka menggunakan kitab suci yang bernama Pustaha Habonoron.
Ajaran Agama Kristen mulai masuk ke Suku Batak pada tahun 1863.
Ajaran agama ini dibawa para misionaris yang datang ke Sumatera.
"Namun kini mayoritas suku bangsa Batak memluk agama Kristen. Ada juga yang memeluk Agama Islam, tetapi persentasenya masih cukup kecil," imbuh Giyanto.
Gereja pertama yang berdiri di wilayah tersebut adalah Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Gereja ini dibangun di Huta Dame, Tarutung.
Agama Kristen masuk dan berkembang ke wilayah pelosok, termasuk Samosir, Dairi, Karo, dan Simalungun pada tahun 1920-an.
Dilansir dari Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak karya Togar Nainggolan, penyebaran ajaran agama Katolik oleh para misionaris pada tahun 1930 sampai 1970 sangat berhasil.
Jumlah pemeluk agama Katolik meningkat secara drastis dalam kurun waktu sembilan tahun.
Antara tahun 1950 sampai tahun 1959, jumlah penduduk beragama Katolik di Medan tercatat mencapai 101.550 orang, yang awalnya hanya sekitar 35.524 orang.
Rumah Adat Suku Batak
Rumah adat Suku Batak berbentuk rumah panggung dengan bahan dasar berupa kayu.
Rumah adat ini disebut Rumah Bolon di kalangan Batak Toba.
Mengutip Analisis Arsitektur pada Rumah Tradisional Batak Toba di Kabupaten Toba Samosir, Balinge karya Yunita Syafitri Rambe, rumah Batak memiliki ornamen berupa ukiran dinding yang khas.
Ornamen di rumah adat Suku Batak memiliki makna yang berkaitan dengan kesejahteraan, keselamatan, serta perlindungan bagi penghuni dan desanya.
Motif yang banyak ditemukan, antara lain gorga, singa-singa, dan gajah dumpak.
"Rumah tradisional Batak Toba di Balige ada dua jenis, yaitu ruma dan sopo," tuis Rambe.
Ruma merupakan bangunan tradisional Suku Batak yang digunakan sebagai tempat tinggal.
Sedangkan sopo merupakan bangunan yang digunakan untuk menyimpan padi pada zaman dulu.
Kain Ulos Khas Batak
Ulos merupakan kain hasil budaya khas Batak.
Kain ini memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Batak.
Ulos secara harfiah berarti selimut.
Kain ini merupakan hasil tenun berbentuk selendang dengat motif khas Suku Batak.
Menurut Giyanto, masyarakat setempat menganggap kain ulos sebagai lambang kasih sayang yang dapat memberikan kehangatan.
Masyarakat Batak selalu menggunakan kain ulos hampir di setiap upacara adat yang diselenggarakan.
Kain ini menjadi komponen penting dalam upacara kelahiran, pernikahan, kematian, dan penyambutan tamu agung. [As]